Menjaga Bentuk Negara: Imunitas Konstitusional dalam Pasal 37 UUD 1945

Oleh: Anggun Tiara Kurniasari

 

Dasar Pemikiran

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar tertinggi yang menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu klausul yang sangat penting dalam menjaga keberlangsungan negara adalah Pasal 37 ayat (5), yang menegaskan bahwa perubahan konstitusi tidak boleh mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketentuan ini merupakan eternity clause atau klausul kekekalan, yang memberikan imunitas konstitusional bagi bentuk negara kesatuan dari segala bentuk amendemen. Dengan demikian, NKRI ditempatkan sebagai struktur dasar (basic structure) yang tidak bisa diubah bahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional untuk mengubah UUD.

 

Permasalahan

Meski norma ini tampak final, terdapat sejumlah persoalan mendasar yang perlu dicermati:

1. Batasan Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

Pasal 37 ayat (5) menunjukkan adanya batas bagi kedaulatan rakyat. Walaupun rakyat berdaulat, ada nilai konstitusional yang tidak dapat diganggu gugat. Sebagian kalangan menilai hal ini dapat dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi.

2. Dinamika Otonomi Daerah

Sistem desentralisasi yang luas sering kali menimbulkan praktik yang menyerupai federalisme. Ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah kadang memberi ruang bagi potensi pergeseran pemahaman terhadap bentuk negara.

3. Ancaman Disintegrasi

Munculnya gerakan separatis di beberapa wilayah menunjukkan bahwa meskipun secara normatif bentuk negara kesatuan terjamin, secara faktual NKRI masih menghadapi ancaman serius.

 

Pembahasan

Klausul kekekalan dalam Pasal 37 ayat (5) lahir dari pengalaman sejarah Indonesia. Pada tahun 1949, Indonesia pernah berubah menjadi negara federal melalui Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, bentuk federal ini dianggap sebagai hasil rekayasa politik kolonial Belanda yang melemahkan persatuan bangsa. Tidak sampai setahun, melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Trauma sejarah inilah yang kemudian melahirkan konsensus nasional bahwa NKRI adalah harga mati.

Keberadaan klausul ini membawa implikasi penting. Pertama, ia menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia memiliki batas, yakni perlindungan terhadap prinsip fundamental negara. Kedua, norma ini memperkuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika dengan menegaskan kesatuan dalam keragaman. Ketiga, klausul tersebut berfungsi sebagai pagar konstitusional terhadap ancaman separatisme.

Namun, keberadaan klausul kekekalan tidak bisa dipahami sebagai norma statis semata. Ia harus dibaca sebagai komitmen dinamis yang menuntut negara untuk menghadirkan kebijakan yang adil, inklusif, dan merata di seluruh daerah. Jika ketidakadilan dan ketimpangan dibiarkan, maka klausul konstitusional itu akan kehilangan makna substansialnya.

Dengan demikian, menjaga bentuk negara bukan hanya soal norma hukum, tetapi juga soal legitimasi politik dan sosial. Kesatuan bangsa hanya dapat terpelihara jika pemerintah mampu menjawab kebutuhan rakyat, mengurangi kesenjangan, dan menegakkan keadilan sosial sebagaimana amanat Pancasila.

 

Penutup

Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 adalah pagar konstitusional yang melindungi NKRI sebagai identitas fundamental bangsa. Ia lahir dari sejarah, menjadi konsensus politik, sekaligus jaminan persatuan dalam keberagaman. Namun, klausul kekekalan ini tidak boleh dipahami sebagai tameng formal belaka. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan nyata yang menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, dan memastikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

[ Penulis Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi ]

Kategori :   Pendidikan
Tag :  

© JambiNewsRoom. All Rights Reserved.