Oleh: Doni Irham
Dasar Pemikiran
Pembentukan undang-undang (UU) merupakan fungsi utama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. DPR sebagai lembaga legislatif memiliki kedudukan strategis, sebab keberadaan UU adalah pijakan utama penyelenggaraan negara. Legislasi bukan sekadar urusan teknis merumuskan pasal, tetapi sarana untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat sekaligus memastikan pembangunan hukum nasional berjalan sesuai prinsip negara hukum.
Namun, praktik legislasi sering kali jauh dari ideal. Produk hukum yang lahir kerap menuai kritik publik karena dianggap lebih mencerminkan kepentingan politik ketimbang aspirasi masyarakat. Tidak sedikit pula UU yang digugat ke Mahkamah Konstitusi karena multitafsir atau bertentangan dengan konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa proses legislasi masih menghadapi persoalan serius yang perlu segera dibenahi.
Permasalahan
Setidaknya ada lima problem pokok yang kerap muncul dalam pembentukan UU di Indonesia:
1. Kelemahan prosedural – Proses legislasi sering dikejar target Prolegnas sehingga pembahasan berlangsung terburu-buru.
2. Minim partisipasi publik – Masyarakat jarang dilibatkan secara substantif, padahal prinsip keterbukaan ditegaskan dalam UUD 1945 maupun UU No. 13 Tahun 2022.
3. Kualitas substansi rendah – Banyak UU menimbulkan kontroversi atau multitafsir.
4. Intervensi politik – Dominasi kepentingan partai dan kelompok tertentu kerap mendistorsi esensi legislasi.
5. Disharmoni regulasi – Tumpang tindih antar UU menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat maupun aparatur negara.
Pembahasan
Secara normatif, DPR memegang peran kunci dalam pembangunan hukum nasional. Akan tetapi, kesenjangan antara cita hukum (das sollen) dan realitas politik (das sein) masih begitu lebar. Untuk memperbaikinya, setidaknya ada lima agenda yang harus diprioritaskan:
1. Keterbukaan dan partisipasi publik
Partisipasi masyarakat harus dimaknai secara substantif, bukan hanya formalitas. Mulai dari tahap penyusunan naskah akademik hingga pembahasan RUU, rakyat mesti dilibatkan secara nyata agar bisa memberi masukan yang relevan dan kritis.
2. Prosedur legislasi yang akuntabel
Tolok ukur keberhasilan legislasi bukanlah banyaknya RUU yang disahkan, melainkan kualitas dan kebermanfaatannya. Karena itu, DPR perlu memperkuat riset akademik, memperdalam kajian ilmiah, serta mengedepankan transparansi dalam setiap tahapan.
3. Kualitas substansi hukum
Norma hukum harus dirumuskan secara jelas, konsisten, dan aplikatif. Uji dampak regulasi (regulatory impact assessment) penting dilakukan untuk memastikan setiap aturan tidak menimbulkan masalah baru.
4. Reduksi kepentingan politik
Politik tidak bisa dihindarkan dalam legislasi, tetapi kepentingan politik harus dikendalikan. Prinsip salus populi suprema lex — kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi — mesti dijadikan kompas dalam setiap pembahasan RUU.
5. Harmonisasi regulasi
Koordinasi antara DPR, pemerintah, dan Kementerian Hukum dan HAM sangat diperlukan agar setiap aturan selaras dan konsisten. Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum juga penting untuk menyederhanakan regulasi.
Penutup
Pembentukan UU adalah amanat konstitusi yang sangat fundamental bagi tegaknya negara hukum. Namun, realitas hari ini menunjukkan banyak persoalan: prosedur yang lemah, partisipasi publik yang minim, substansi yang multitafsir, intervensi politik yang dominan, hingga disharmoni regulasi.
Jika DPR ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka reformasi legislasi adalah keniscayaan. Perlu ada perbaikan tata kelola, penguatan integritas politik, peningkatan keterlibatan publik, serta penjaminan kualitas substansi hukum. Dengan langkah-langkah itu, DPR tidak hanya menjadi “mesin pembuat undang-undang”, melainkan benar-benar hadir sebagai representasi rakyat yang menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
[Penulis Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unja]
© JambiNewsRoom. All Rights Reserved.