Oleh: Kiki Anggela Sari
Dasar Pemikiran
Konstitusi dalam negara demokratis bukan sekadar dokumen hukum tertinggi, melainkan kontrak sosial yang menjembatani hubungan antara rakyat dan penguasa. Sejak gagasan Montesquieu dan Rousseau tentang pembatasan kekuasaan, konstitusi selalu dimaknai sebagai instrumen yang membatasi wewenang negara agar tidak sewenang-wenang, sekaligus melindungi hak-hak warga negara.
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 tidak hanya menjadi pedoman penyelenggaraan negara, tetapi juga menjamin hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28A–28J. Namun, makna konstitusi sering kali berhenti pada tataran formal dan elitis. Rakyat—sebagai pemilik kedaulatan—masih jarang melihat konstitusi sebagai dokumen yang hidup dan menyentuh keseharian mereka.
Permasalahan
Ada beberapa persoalan yang membuat konstitusi tampak jauh dari rakyat. Pertama, konstitusi masih terasa terasing dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat lebih mengenal kebijakan pemerintah atau undang-undang sektoral ketimbang hak-hak konstitusionalnya.
Kedua, pendidikan konstitusi di sekolah masih bersifat normatif dan hafalan, tanpa membangun kesadaran kritis tentang bagaimana konstitusi melindungi rakyat.
Ketiga, diskursus konstitusi cenderung elitis. Perubahan UUD 1945 pascareformasi memang membawa banyak kemajuan, tetapi perdebatan dan wacananya lebih didominasi elit politik dan akademisi, bukan rakyat kebanyakan.
Keempat, terdapat jurang antara norma dan realitas. Meski konstitusi menjanjikan perlindungan hak-hak dasar, pelaksanaannya di lapangan sering kali timpang—terutama dirasakan oleh kelompok rentan.
Pembahasan
Untuk mengembalikan konstitusi kepada rakyat, setidaknya ada beberapa langkah penting.
Pertama, konstitusi harus dimaknai sebagai dokumen hak rakyat. Pasal-pasal tentang hak asasi manusia bukan hanya deklarasi formal, melainkan jaminan konstitusional yang dapat menjadi dasar rakyat menuntut haknya, baik melalui mekanisme politik maupun jalur hukum.
Kedua, konstitusi perlu dipahami sebagai living constitution, yakni dokumen yang hidup dan relevan dengan perkembangan zaman. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan hak atas lingkungan hidup, misalnya, menunjukkan bahwa konstitusi bisa terus diperbarui maknanya agar dekat dengan realitas kontemporer.
Ketiga, konstitusi adalah sumber legitimasi demokrasi. Pemilu, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, serta hak berserikat, semuanya dijamin langsung oleh konstitusi. Kesadaran ini penting agar rakyat menyadari bahwa setiap kali mereka menggunakan hak politik, mereka sedang melaksanakan amanat konstitusi.
Keempat, konstitusi harus dijadikan pedoman moral politik. Penyelenggara negara tidak boleh hanya menjadikannya alat legalitas formal, tetapi juga dasar etika dalam berkuasa. Tanpa kesadaran moral ini, konstitusi akan terjebak sebagai teks elitis yang justru berjarak dari rakyat.
Penutup
Demokrasi konstitusional hanya akan kuat bila rakyat memaknai konstitusi sebagai miliknya. Karena itu, diperlukan strategi pendidikan konstitusi yang lebih membumi, partisipasi publik yang lebih luas dalam proses konstitusional, serta interpretasi progresif dari lembaga peradilan. Dengan begitu, konstitusi tidak lagi sekadar teks yang tersimpan di lembaran negara, melainkan benar-benar hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat, menjadi milik rakyat, bukan sekadar milik elit.
[ Penulis Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi ]
© JambiNewsRoom. All Rights Reserved.